Diam Itu Emas

April 5, 2011

Pada hari raya Nyepi kemarin, saya puasa bicara. Sebelumnya saya juga pernah puasa bicara, tapi dulu ketika Nyepi di kost, dan memang tidak keluar kamar selama satu hari penuh jadi tidak ada orang yang diajak bicara. Tapi kali ini saya melakukannya di rumah, dan ternyata itu tidak mudah.

Walaupun sebelumnya saya sudah pasang pengumuman akan puasa bicara, tapi tetap saja semua orang mengajak bicara. Padahal saya juga sudah heboh berbahasa isyarat bahwa saya tidak bisa bicara pada hari itu. Saya manusia di antara manusia-manusia sebagai makhluk sosial. Kita diberikan kemampuan berkomunikasi dengan sesama. Buat saya, berbicara seolah bernafas, sesuatu yang saya lakukan tanpa sadar. Tapi nafas bisa ditahan, seharusnya saya juga bisa menahan diri untuk tidak bicara bukan?

Biasanya, ketika ada orang bertanya saya akan menjawab dengan sigap. Walau kadang hanya mengeluarkan komentar asal, atau bergumam tidak jelas, tapi saya akan langsung bersuara. Tapi kali ini saya belajar untuk diam sejenak, dan berpikir. Ternyata, setelah diendapkan di otak agak lama, bisa muncul jawaban-jawaban lain di otak saya, yang benar-benar berbeda dengan respon yang saya pikirkan di awal. Mungkin saya lebih sering lupa untuk berpikir sebelum berkata dan berbuat, sehingga saya sering menyesali apa yang sudah saya lontarkan.

Kesigapan saya dalam menjawab juga terkadang bisa membuat orang lain jengkel. Karena terkadang selain lupa berpikir, saya juga lupa berperasaan. Saya adalah orang yang mudah marah jika dipancing dengan kata-kata, dan dengan puasa bicara, saya belajar untuk lebih sabar. Tidak semua hal perlu saya utarakan, dan mungkin ada kata-kata cerdas dan tidak terlalu menyakitkan untuk diucapkan. Dan seharusnya saya juga tidak boleh cepat tersinggung dengan kata-kata hanya karena interpretasi saya yang berbeda terhadap perkataan orang lain. Saya memiliki suara yang berat, sudah seharusnya saya menghindari nada-nada tinggi dalam ucapan saya.

Lalu, setelah saya berpikir dan berperasaan, bolehkah saya berbicara? Belum tentu. Seringkali saya jadi orang yang sok tau karena merasa benar. Tetapi walau jawaban saya benar sekalipun, kalau tidak ada yang bertanya kepada saya, buat apa menjawab? Saya benci orang yang suka menyerobot, dan tanpa disadari selama ini saya seringkali menyerobot pertanyaan orang lain. Saya terlalu sering bicara, sehingga saya lupa untuk mendengarkan. Kalau semua orang bicara, siapa yang akan mendengar?

Sepertinya diam itu memang benar-benar seperti emas, begitu berharga. Jadi wahai otak, telinga, dan hati, bekerjasamalah! Tolong tahan si mulut ini untuk berbicara terlalu banyak di kemudian hari 🙂